Panggung Sunyi Dunia Pantomime
20/02/17
Seorang pantomimer, Iman Kurniawan dan Erfan (Teater Roeang 28) Yogya saat prepare (make up) di belakang panggung. |
Pantomime merupakan bentuk seni yang sangat luwes. Seorang pantomimer bisa mengekspresikan apa saja, termasuk sesuatu yang mungkin sebelumnya dianggap tidak masuk diakal.
Di Indonesia, hanya ada beberapa orang yang konsisten dan saya kenal tetap bertahan berada di jalur pantomime. Di antaranya, Jemek Supardi, Septiyan Dwi Cahyo dan beberapa orang lainnya. Seperti, Broto Wijayanto, Asita dan Ende Riza (Yogyakarta). Hal tersebut jauh berbeda jika dibandingkan dengan jenis-jenis kesenian lainnya, yang memiliki sederet nama terkenal.
Padahal, pantomime ini merupakan seni pertunjukan yang universal, artinya bisa diterima di mana saja. Meskipun berbeda bahasa. Seorang pantomimer Indonesia tidak perlu susah-susah mencari penterjemah atau menterjemahkan karyanya ketika sedang pentas di luar negeri. Sebab, seorang pantomimer menggunakan imajinasi yang diekspresikannya dengan bahasa tubuh dan sudah pasti harus dibekali penjiwaan yang baik. Berbeda dengan pertunjukan seni lainnya. Jika penonton tidak mengerti Bahasa Indonesia, tentu akan kesulitan ketika harus mengapresiasi penampilannya.
Pantomime merupakan bentuk seni yang sangat luwes. Seorang pantomimer bisa mengekspresikan apa saja, termasuk sesuatu yang mungkin sebelumnya dianggap tidak masuk diakal. Tetapi, memiliki pesan tersirat (satir) dengan kondisi kekinian. Misalnya, dalam sebuah adegan seorang pantomimer melakukan operasi otak. Setelah terbelah, ternyata di dalam otak tersebut berisi handphone (Hp), gadget dan duit. Tiba-tiba, seorang “dokter” yang melakukan bedah, justru bermain media sosial menggunakan handphone pasiennya. Hal tersebut menunjukkan perilaku seorang manusia yang di dalam kepalanya tidak bisa lepas dari teknologi dan media sosial, hingga seorang dokter yang melakukan bedah pun, lupa dengan pekerjaannya karena keranjingan media sosial. Tentu, adegan di atas tidaklah sungguh-sungguh. Hanya imajinasi yang digambarkan menggunakan bahasa tubuh, tetapi memiliki pesan yang dalam.
Dengan kemampuan komunikasi yang baik, seorang pantomimer bisa menggodok emosi penonton. Marah, sedih, gembira, cemas dan membuat jatung deg-degan.
Pertunjukan Ende Riza di Universita Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta bersama Teater Roeang 28 |
Sayangnya, hanya segelintir orang saja yang konsisten menjadi pelaku pantomime. Di beberapa sekolah, pantomime hanya dibutuhkan ketika ada even-even tertentu saja. Seperti saat perpisahan dan ketika akan menghadapi perlombaan yang digelar oleh pemerintah. Pelakunya pun terkesan dadakan, berlatih beberapa hari pada saat menjelang lomba.
Tetapi saya salut kepada Septiyan Dwi Cahyo, bersama komunitasnya melakukan road show ke sekolah-sekolah memperkenalkan kesenian pantomime.
Bagi yang ingin membahas bersama, mendiskusikan pantomime ini, silakan ditulis di kolom komentar atau yang ingin latihan bersama saya juga boleh. Kita berlatih bareng, tukar pikiran bareng, saling berbagi pengalaman.
KopiCurup.com juga menerima tulisan atau artikel tentang kesenian, informasi seni, review pertunjukan dan lainnya. Silakan kirimkan artikel ke kopicurup@gmail.com
Salam Pantomime