Pertarungan Sengit Pilpres 2019, Head to Head
15/08/17
Ilustrasi |
Setelah DPR RI mengesahkan Undang-Undang Pemilu, pada Kamis 20 Juli 2017 lalu. Dalam UU itu tertera ketentuan ambang batas untuk pencalonan presiden (presidential threshold) pada Pemilu Serentak 2019, yakni ambang batas pencalonan presiden 20-25 persen, yakni 20 persen kursi dan 25 persen suara nasional.
Artinya, calon presiden 2019 harus memperoleh dukungan minimal 20 persen kursi di parlemen atau 25 persen dari total suara nasional. Dengan demikian, partai politik yang ingin mengusung calon presiden maka harus berkoalisi dengan partai politik lainnya, supaya memenuhi ambang batas 20-25 persen tersebut. Bahkan, partai pemenang pemilu 2014 yaitu PDIP belum bisa mengusung calon presiden, karena jumlah suara maupun jumlah kursi di DPR RI belum memenuhi ambang batas.
Karena pemilu 2019 nanti dilakukan secara serentak, maka menurut Direktur Eksekutif Saiful Mudjani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan, penghitungan jumlah kursi atau jumlah suara yang dipakai untuk pemilu 2019 adalah hasil pemilu 2014. "Kalau mengikuti ini berarti tidak ada partai yang bisa mencalonkan sendiri presiden dan wakil presidennya," kata Djayadi.
Djayadi menjelaskan, sebuah partai bisa mengusung sendiri capres dan cawapresnya minimal memiliki 112 dari 560 kursi di DPR. Sementara PDIP
hanya punya 109 suara. Artinya PDIP harus bergabung dengan partai lain. (liputan.com/26 Juli 2017).
Bahkan, partai pemenang pemilu 2014 yaitu PDIP belum bisa mengusung calon presiden, karena jumlah suara maupun jumlah kursi di DPR RI belum memenuhi ambang batas.
Karena tidak ada satupun partai politik yang bisa mengusung calon presiden, dapat diprediksi akan terbentuk 2 poros koalisi partai politik pengusung calon presiden.
Head to Head
Pertarungan sengit 2 pasang calon presiden pada tahun 2014 lalu diprediksi akan terulang kembali pada pilres tahun 2019 mendatang. Bahkan saat ini, sejumlah tokoh mulai bergerilya, mencari dukungan.
Meskipun komposisi partai koalisi terjadi perubahan, tetapi para pemainnya masih didominasi oleh wajah lama. Banyak kalangan memprediksi pemilihan calon presiden antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto akan kembali terulang pada pilres 2019.
Dengan sistem 20-25, Sulit rasanya jika pilpres 2019 nanti bisa terbentuk 3 poros. Apalagi, setelah pertemuan antara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Prabowo Subianto beberapa waktu lalu, semakin menguatkan jika partai berlambang mercy bakal merapat ke Partai Gerindra.
Bagaimana komposisinya?
Bisa saja nanti terjadi koalisi yakni Partai Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat. Dengan bergabungnya 4 partai tersebut, sudah memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden 20-25 pada pilpres 2019 nanti.
Bergabungnya 4 partai politik tersebut sangat masuk akal, karena selama ini Partai Gerindra dan PKS termasuk partai oposisi di parlemen yang belum terpisahkan. Meskipun Demokrat pernah menyatakan diri netral para pilpres 2014 lalu, tetapi sulit rasanya jika Partai Demokrat harus berkoalisi dengan PDIP. Apalagi belum lama ini sempat terjadi terjadi ketegangan politik, antara SBY dengan Jokowi maupun dengan Megawati. Mereka sepertinya rivalitas sejati. Sementara, PAN merupakan partai yang dikenal dekat dengan Partai Demokrat, karena kedua partai tersebut memiliki kedekatan emosial yang cukup erat.
Keempat partai politik tersebut tampak terang, arahnya mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden. Sedangkan wakilnya bisa dari PKS atau pun dari Partai Demokrat.
Selain keempat partai politik tersebut, koalisi gemuk seperti PDIP, NasDem, Partai Golkar, Hanura, PPP dan lainnya sudah bisa diprediksi akan mengusung Jokowi sebagai calon presiden pilpres 2019. Sementara calon wakil presiden yang akan mendampingi Jokowi, kemungkinan besar masih dari Partai Golkar.
Sengit
Sebagai calon presiden yang kalah pada saat pilpres 2014 lalu, sudah barang tentu Prabowo Subianto tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Sudah cukup rasanya selama 5 tahun ini menyiapkan semua amunisi dan alat tempur, untuk kembali terjun pada kontestasi politik 5 tahunan tersebut.
Di dunia militer, Prabowo dikenal sebagai ahli strategi. Bukan berarti setelah tidak lagi menjadi anggota TNI, lalu dia meninggalkan begitu saja ilmunya. Justru, pengalamannya selaku ahli strategi ini, akan membuat pertahanan Jokowi goyah, bahkan runtuh.
Alat tempur dan strategi jitunya, telah dia uji cobakan pada saat Pilkada DKI lalu. Alhasil, pasangan calon gubernur Anies Baswedan dan Sandiaga Uno berhasil meraih kemenangan, dengan perolehan suara yang signifikan mengalahkan calon incumbent Basuki Tjahya Purnama (Ahok) dan Djarot. Kemenangan Anies - Sadiaga Uno tersebut sungguh di luar prediksi banyak kalangan, yang menjagokan pasangan Ahok - Djarot. Kenyataannya Anies dan Sandi lah yang menang.
Kemenangan Anies dan Sandi jangan dianggap remeh, --kalau partai koalisi pengusung Jokowi tidak ingin mengalami kesalahan yang sama. Justru hal tersebut menjadi lampu kuning, bahwa pilpres 2019 justru lebih berat dari pilpres 2014.
BACA JUGA: Menanti Kejutan Prabowo Jelang Pilpres 2019
Di sisi lain, Jokowi sebagai calon presiden incumbent, sudah pasti memiliki banyak keuntungan. Sebagai presiden, Jokowi sudah pasti memiliki aparatur pemerintahan hingga ke bawah. Selain itu, pemerintahan Jokowi juga memiliki kewenangan membuat program yang pro rakyat dengan menggunakan dana APBN. Tentu, imbasnya adalah meningkatnya pencitraan Jokowi.
Di sisi lain, Jokowi sebagai calon presiden incumbent, sudah pasti memiliki banyak keuntungan. Sebagai presiden, Jokowi sudah pasti memiliki aparatur pemerintahan hingga ke bawah. Selain itu, pemerintahan Jokowi juga memiliki kewenangan membuat program yang pro rakyat dengan menggunakan dana APBN. Tentu, imbasnya adalah meningkatnya pencitraan Jokowi.
Namun, kebijakan atau pun program Jokowi bisa saja menjadi boomerang bagi dirinya sendiri, apabila program pemerintahan Jokowi dianggap tidak memperhatikan aspirasi masyarakat. Misalnya saja, kenaikan tarif listrik. Banyak masyarakat yang tadinya merupakan pemilih Jokowi, mengaku kecewa dan berat hati ketika harus kembali memiliki Jokowi pada pilpres 2019 nanti. Bahkan, banyak juga yang kecewa karena program Jokowi saat ini tidak seperti apa yang pernah dia sampaikan pada saat kampanye dahulu.
Alat tempur dan strategi jitunya, telah dia uji cobakan pada saat Pilkada DKI lalu. Alhasil, pasangan calon gubernur Anies Baswedan dan Sandiaga Uno berhasil meraih kemenangan
Harus Tetap Damai
Meskipun pilpres 2019 mendatang diprediksi panas, kita sebagai masyarakat jangan sampai menjadi "tumbal". Maksudnya, biarkan saja mereka dan tim sukses mereka beradu program, tetapi masyarakat tidak boleh sampai perang urat syaraf apalagi sampai adu jotos yang berujung ke persoalan hukum.
Apabila terjadi pelanggaran hukum atau kecurangan yang telah dilakukan oleh para calon atau pun suksesnya, lebih baik dilaporkan ke arapat penegak hukum atau ke badan yang berwenang yakni Bawaslu. Sebagai masyarakat, kita boleh mengambil tindakan sendiri. Apalagi turut serta melakukan tindakan yang melanggar hukum. Mari kita menjadi masyarakat yang bijak dan cerdas, untuk Indonesia lebih baik. Setuju!!