Pementasan “Ruang Tunggu” oleh Teater Senyawa Curup: Siklus Circular di Ruang Sempit
Oleh: Ami Alifia*
KOPICURUP.ID - Pementasan teater bertajuk Ruang Tunggu, karya/sutradara Adhyra Irianto ini perdana dipentaskan oleh Teater Senyawa Curup yang merupakan dalam Temu Karya Teater Bengkulu di Gedung Teater Tertutup, Taman Budaya Bengkulu, beberapa waktu lalu. Pementasan drama yang berdurasi kurang lebih 45 menit ini tidak melakukan ticketing, penontonnya terbatas yang terdiri dari kelompok-kelompok teater yang menghadiri Temu Karya Teater Bengkulu lantaran masih dalam kondisi pandemi covid-19. Penontonnya pun mengikuti acara dengan mematuhi protokol kesehatan. Pementasannya juga bisa disaksikan melalui live streaming facebook Dewan Kesenian Bengkulu pada sore hari itu.
Ruang Tunggu menampilkan dua tokoh yang “dipanggil” dengan nomor urut 114 (diperankan oleh Adhyra Irianto) dan nomor urut 120 (diperankan oleh Ikhsan Satria Irianto), mereka sama-sama berada di ruang tunggu untuk di eksekusi mati. Kembali mengusung konsep Teater Absurd, dalam pementasannya Teater Senyawa menggunakan ruang sempit dengan pencahayaan yang tgelap sebagai ruang tunggu dan terdapat dua kursi tunggu di dalamnya. Pada awalnya, para penonton mulai kebingungan karena tidak ada persiapan di atas panggung sama sekali padahal pertunjukan drama akan segera dimulai, namun mereka langsung bergegas mengambil posisi ternyaman untuk menonton pertunjukan tersebut ketika tahu bahwa Teater Senyawa menjadikan bagian tengah dari gedung teater yang merupakan ruangan sempit (terdapat beberapa anak tangga dan pintu keluar yang tertutup) sebagai panggung teater mereka. Hal ini menjadikan Ruang Tunggu pertunjukan yang unik, sehingga semakin membuat penonton penasaran.
Tak sampai di situ, penonton semakin di buat bingung ketika corak khas absurdisme yang berupa siklus circular dan tak berujung hadir kembali sebagaimana sebelumnya dari Teater Senyawa seperti Pelukis dan Wanita, Malapetaka dan deretan pentas teater ini sebelumnya, di mana kedua tokoh tersebut mencari-cari ruangan lain namun berakhir di ruangan yang sama, mereka terus berputar-putar dalam ruang sempit itu tanpa menemukan ruangan lain, ataupun hal lainnya yang membawa mereka kepada harapan mereka.120: Astaga, kau bisu?
114: Baba bum baba
120: Apa?
114: Baba bum baba
120: Apa pula itu bababumbaba?
114: (diam)
Hening
120: Kita pasti mati. Setidaknya, kita berkenalan, mungkin?
114: Baba bum baba
120: Ah, sial bababum lagi.
114: Dada. Dada bababum. Baba bum baba.
Lama menunggu hari eksekusi yang tak kunjung tiba, 114 dan 120 bermain alat musik berupa okarina dan kalimba yang diberikan saat memasuki ruang tunggu demi menghalau kebosanan. 120 mulai bercerita bahwa ia tidak tahu apa yang terjadi dan bertanya apa kesalahan 114 hingga berakhir akan dieksekusi mati. Dari sini penonton mulai menyimak dengan seksama dialog-dialog yang dilontarkan kedua aktor itu. Pembawaannya terlihat santai namun terasa sangat mendalam.
120: Kalau kau? Hei, kalau kau? Aku sudah bercerita tadi, sekarang giliranmu.
114: Aku sadar bahwa aku telah membuat satu kesalahan. Karena itu aku dihukum.
120: Apa kesalahanmu?
114: Aku dilahirkan
120: Hidup adalah sebuah berkah. Dilahirkan bukanlah sebuah kesalahan120 hadir sebagai tokoh yang muak dengan keadaan, tapi juga penuh harapan, ia terus berharap sesuatu akan datang, melalukan segala cara bahkan berencana untuk bunuh diri daripada harus menunggu waktu kematian yang entah kapan, tidak pasti. Lain halnya dengan 114 yang tampak tenang atau mungkin sudah lelah dan terlanjur terbiasa dengan situasi kondisi di ruang tunggu, 114 lebih realistis dan menentang apa-apa yang diucapkan 120.
Pertunjukan terus berjalan, namun mereka tak kunjung dipanggil dan malah terus menerus mendengar suara penjaga ruangan ber “bababumbaba” memanggil orang lain dengan nomor urut 121, 122, 123, dan 124 memasuki ruangan lain dan dieksekusi mati. 114 akhirnya sudah benar-benar marah dan muak untuk terus menunggu hari eksekusinya tiba, ia membutuhkan jawaban, emosi dalam pertunjukan itu terus naik begitu juga dengan emosi para penonton yang menyaksikan pertunjukan tersebut, meskipun begitu penonton langsung tertampar dengan kalimat-kalimat yang benar-benar menyentuh yang menyadarkan kita bahwa tidak semua pertanyaan harus memiliki jawaban, dan bahwa kematian bukanlah jawaban.
114: Tidak akan pernah ada jawaban! Karena semesta ini tak akan pernah mengacuhkanmu. Kau dan semua pertanyaan-pertanyaanmu itu hanya akan menjadi debu yang berserakan. Sejak lahir kita memang telah dikutuk untuk kalah!
Bila kau mengira hidupmu sudah sangat tak berarti, maka matimu juga jauh lebih tidak berarti! Karena kematian memang bukan jawaban. Buang jauh-jauh di kepalamu bahwa kematian awal bagi sesuatu yang baru, kematian itu berakhir, berakhirya kehidupan kita. Dan mati, mati bunuh diri hanya menunjukkan bahwa dunia yang berantakan ini berhasil menang atas dirimu.
Pertunjukan berakhir masih dengan 114 dan 120 yang tak kunjung dipanggil untuk eksekusi mati, dengan wajah yang tampak pasrah mereka berdialog “bababumbaba”, kemudian cahaya meredup, pertunjukan pun usai. Penonton bertepuk tangan riuh dan satu-persatu memberi salam dan selamat kepada kedua aktor yang sukses menampilkan drama tersebut.
Selama pertunjukan, Ruang Tunggu seolah menjadi guru kehidupan. Semua yang ingin disampaikan dalam drama Ruang Tunggu tersampaikan langsung melalui percakapan dua tokoh itu, mereka bermain dengan perasaan dan memori penonton yang menyaksikan. Begitu banyak dialog-dialog yang masih terekam baik-baik di dalam memori. Didukung dengan penokohan para aktor yang mendalam, mulai dari ekspresi, warna suara, gerak-gerik dan entahlah apa sebutannya Teater Senyawa seolah memiliki ciri khas yang menempel pada aktornya ketika memerankan suatu karakter yang hal itu menjadikan saya sebagai penonton betah berlama-lama menyaksikan teater absurd. Jika orang-orang yang putus asa menyaksikan pertunjukan ini, maka karya Adhyra Irianto dan Teater Senyawa ini benar-benar bisa menyelamatkan nyawa seseorang.
Ruang Tunggu mengajarkan tentang bahwa kehidupan ini hanya menunda kekalahan, bahwa kita sebenarnya telah dihukum oleh ketidakpastian sejak kita lahir tidak semua pertanyaan memiliki jawaban, “yang entahlah biarlah selamanya menjadi entahlah” kemudian kebebasan itu tidak pernah benar-benar ada, di samping itu mengajarkan kita bagaimana menikmati hidup dan merasakan kebahagiaan.
*Penulis adalah siswa SMAN 1 Rejang Lebong, anggota Teater Petass dan Kelompok Jurnalistik & Sastra (KJS) SMAN 1 Rejang Lebong