Abdullah Siddik: Semangat Menjaga Marwah Tanah Rejang
Abdullah Siddik bersama Presiden RI pertama, Ir. Soekarno |
KOPICURUP.ID - Ada dua buku yang hingga hari ini masih dianggap buku paling berwibawa tentang Rejang, yakni De Rejang, karya Hazairin dan Hukum Adat Rejang, karya Abdullah Siddik. Kedua buku ini telah menjadi mata air yang terus disauk airnya, baik oleh orang-orang dari kalangan akademisi, pemerhati budaya atau sejarah, hingga masyarakat awan yang tertarik dengan perjalanan kehidupan orang-orang Rejang.
Ada perbedaan nyata latar lahirnya kedua buku ini. Dimana dengan adanya perbedaan ini juga, telah mempengaruhi wawasan orang Rejang memandang dirinya.
Ketika De Redjang ditulis, hukum adat Rejang masih memiliki jarak yang relatif dekat dengan pendukungnya, yakni orang Rejang. Baik di sadei (dusun), kutei, atau orang-orang di marga pasar, masih relatif cukup taat menjalani hukum adat sebagaimana yang diterangkan buku itu. Ini artinya, ketika Hazairin menulis De Rejang, beliau masih banyak menemukan referensi nyata untuk bukunya itu.
Sayangnya, banyak orang yang menyebut-nyebut kebesaran Hazairin dengan De Rejang-nya, tanpa pernah utuh membacanya. Sampai saat ini De Rejang masih lebih diakrabi di kalangan akademik, terutama di kalangan sarjana hukum adat, tetapi sebaliknya, kurang dikenal oleh masyarakat umum.
Karya Hazairin telah menjadi karya yang “berat”, tak lain, ini terjadi, karena sampai saat ini De Redjang masih dalam bahasa aslinya saat ditulis, yakni bahasa Belanda. Belum pernah diterjemahkan buku ini ke dalam bahasa Indonesia. Ini artinya, orang yang mau mempelajari hukum atau adat-istiadat Rejang melalui De Rejang harus bisa berbahasa Belanda. Dan, secara umum pula, De Redjang dicetak terbatas, di mana pada hari ini telah menjadi buku langka yang tidak akan ditemui di toko-toko buku, kecuali koleksi perpustakan, seperti di Perpustakaan Nasional.
De Redjang ditulis pada 1936. Dari masa 1936 ini hingga ke masa Indonesia Merdeka, lalu menuju 1980, selama hampir setengah abad, orang-orang Rejang secara umum belum mendapatkan pengetahuan yang utuh tentang kebudayaannya sendiri, karena belum ada buku babonnya.
Apakah tidak ada buku-buku lain yang berbicara tentang Rejang? Secara apriori kita akan mengatakannya ada, tetapi hanya dalam jurnal-jurnal ilmiah, karya-karya akademik yang hanya tersimpan di perpustakaan internal perguruan tinggi-perguruan tinggi, yang jelas tidak bisa bebas diakses oleh masyarakat umum.
Juga ada karya-karya sarjana Eropa, seperti yang ditulis oleh William Marsden, W.A. van Ress, Adolf Bastion atau M. Jaspan, tetapi lagi-lagi semuanya berbahasa asing dan telah menjadi buku sangat langka yang tersimpan di arsip atau perpustakaan di luar negeri. Demikian juga laporan-laporan seperti disusun oleh Pruy van Der Hoeven, J.L.M. Swaab, Koppenol, M. Wagermaker atau Westenenk, semua ini juga berbahasa asing dan tersimpan di kearsipan yang tak bisa diakses secara bebas.
Hampir seperempat abad kita di Tanah Rejang tidak punya buku pegangan kebudayaan Rejang.
Dari sejak diterbitkannya De Redjang, 1936 lalu, maka hampir setengah abad orang-orang Tanah Rejang harus menunggu lahirnya karya Abdullah Siddik, Hukum Adat Rejang, pada 1981.
Terbitnya Hukum Adat Rejang ini merupakan sebuah fajar baru bagi orang Rejang dalam melihat dirinya. Ditulis dengan bahasa nasional yang dipahami semua orang Indonesia dan dipublikasi yang memangsa semua lapisan masyarakat, buku ini telah membuka cakrawala baru orang-orang di Tanah Rejang mendiskusikan kebudayaannya.
Berbeda dengan De Redjang, yang kontennya masih faktual dan kontekstual dengan masanya, maka buku Hukum Adat Rejang ditulis Abdullah Siddik saat orang-orang Rejang mulai berjarak dengan kebudayaannya sendiri. Karya Sarjana Hukum kelahiran Lebong dan banyak menghabiskan masa kecilnya di kota Curup ini muncul dalam suasana dimana orang-orang Rejang tengah kekosongan referensi terpercaya tentang kebudayaannya.
Karena itu, lahirnya Hukum Adat Rejang telah memberikan kesadaran baru bagi orang Rejang untuk kembali peduli dengan kebudayaannya. Buku ini telah menjadi trigger (pemicu) penting bagi orang-orang Rejang untuk kembali secara hangat berdiskusi tentang perjalanan dan kehidupan mereka. Hukum Adat Rejang adalah ekspektasi kerinduan orang Rejang terhadap sebuah babon yang bisa mempertegas bahwa orang Rejang memang benar-benar memiliki kebudayaan. Sebuah babon atau teksbook yang membuat orang-orang Rejang menemukan kata sepakat tentang sejarah mereka.
Saya merasa yakin, Hukum Adat Rejang ditulis karena keprihatinan dan kepedulian Abdullah Siddik terhadap Rejang, sebagaimana yang beliau nyatakan dalam pendahuluan buku itu, “sebagai sumbangan saya supaya generasi muda mengenal pusaka yang sangat berharga dari nenek moyangnya”.
Pada kenyataannya, banyak orang Rejang yang baru tahu dengan kisah Empat Petulai setelah membaca buku Abdullah Siddik itu. Banyak orang Rejang yang semakin memahami mereka berasal dari simpul yang sama karena membaca Hukum Adat Rejang.
Memang, ada beberapa tambo yang ada di Tanah Rejang. Setiap dusun, marga, bahkan keluarga punya tambonya masing-masing. Salah satu tambo yang cukup populer adalah Tembo Adat Rejang Tiang IV yang disusun oleh Mohammad Hoesein. Namun, tidak mudah tambo-tembo ini untuk dibaca oleh masyarakat. Selain karena “hanya satu-satunya”, tidak dibukukan, dan juga karena beberapa pandangan mitis dan konservatif telah menghalangi banyak orang mengakses tambo-tambo itu.
Kondisi yang beku ini dicairkan dengan kehadiran karya Abdullah Siddik. Pertama kali secara luas masyarakat bisa mengenal mitologi Biku Sepanjang Jiwo, Biku Bembo, Biku Bejenggo dan Biku Bermano melalui Hukum Adat Rejang. Dan, ditulis dengan menggunakan bahasa persatuan bahasa Indonesia, maka Abdullah Siddik pun telah mengenalkan Rejang hingga keluar dari wilayah orang-orang yang berbahasa Rejang.
Banyak hal yang menarik dalam karya Abdullah Siddik. Salah satunya adalah beliau telah menemukan titik kompromi terhadap silsilah orang-orang Rejang yang terserak di Rejang Lebong, Kepahiang, Lebong dan Bengkulu Utara. Dengan adanya titik kompromi ini, Abdullah Siddik telah memunculkan sebuah Kronik Agung Empat Petulai, yang bisa diterima oleh banyak orang Rejang sebagai cikal bakal mereka hari ini di Lebong, Musi Ulu, Kepahiang dan Pesisir.
Tentu saja, tak ada gading yang tak retak, ada bagian-bagian tertentu yang ditulis Abdullah Siddik dalam Hukum Adat Rejang masih memerlukan koreksi. Saya sendiri mencatat ada beberapa kekeliruan peristiwa yang ada dalam buku beliau itu. Dalam buku saya, Kepahiang Di Lintas Waktu, saya mencoba meluruskan kekeliruan itu dengan data-data yang lebih faktual.
Roland Barthes, seorang fenomenolog Inggris mengatakan, bahwa karya yang baik adalah karya yang tidak pernah sempurna, karena dia selalu membuka cakrawala dialog bagi pembacanya di tiap generasi. Terhadap Abdullah Siddik, beliau telah meninggalkan celah-celah enigma dalam karyanya, menjadi tugas kita pada hari ini untuk menjawabnya, sehingga dengan karyanya yang telah lahir itu, kita akan terus memiliki alasan untuk ingin dan peduli menggali sejarah dan kebudayaan Rejang. Dan, kita bisa melakukannya, karena kita sekarang lebih memiliki keluasaan mengakses data dengan kemajuan revolusi industri 5.0 yang kita alami pada hari ini.
Sebagai anak yang dilahirkan di Curup, dari hati yang paling dalam, sebagai orang yang telah lama berminat pada sejarah Rejang, yang telah lama membaca karya Abdullah Siddik, saya ingin mengatakan, bahwa Abdullah Siddik adalah orang terkenal di Tanah Rejang, namun lupa untuk kita hormati. Kita sebut namanya dalam diskusi atau debat, kita sebut namanya ketika kita ingin mengukuhkan kerejangan kita, kita sebut namanya untuk menegaskan pernyataan tentang kebudayaan Rejang. Namun, di balik semua itu kita melupakan jika kita harus memberikan kehormatan bagi beliau.
Memang, beliau tidak pernah meminta kehormatan itu. Semua yang beliau lakukan adalah sebagai wujud kecintaannya terhadap Rejang, sebagai tanah kelahirannya. Dia telah melakukan apa yang bisa ia perbuat bagi bagi Indonesia sebagai wujud patriotisme dirinya.
Namun, dengan semua yang telah beliau lakukan dan perbuat, menjadi kewajiban bagi kita untuk menghormatinya dengan memberikannya kehormatan yang abadi.
Saya merindukan di Kota Curup, Bengkulu, Lebong atau Kepahiang ada nama jalan Abdullah Siddik. Saya bermimpi Abdullah Siddik dilanggengkan namanya menjadi nama gedung. Saya berangan-angan akan ada pahlawan nasional yang berasal dari Tanah Rejang. Akhirnya, kita semua berharap akan selalu lahir Abdullah Siddik-Abdullah Siddik lainnya yang gigih menjaga marwah Tanah Rejang.***
Penulis: Emong Soewandi
- Penulis adalah pemerhati sejarah dan budaya Kepahiang
- Orasi Kebudayaan disampaikan di
Seminar Sosok Kepahlawanan Prof. Dr. Abdullah Siddik, SH
Di Civitas Akademika IAIN Curup, 16 November 2022