Perang Candu kok Diganti Jadi Perang Padri?
KOPICURUP.ID - Judul diatas didasari dari diskusi kami di grup whatsapp Sejarawan Lokal Minangkabau di Nagari Rao-Rao, Tanah Datar, Sumatera Barat beberapa hari yang lalu. Kenapa perang yang diakibatkan oleh terganggunya perdagangan candu di Minangkabau ini dijadikan sebuah label sejarah sebagai Perang Padri yang jelas sekali berbeda dengan kondisi awal dan penyebab dari perselihan itu.
Sejarawan lokal sudah berusaha meluruskannya dengan menamakan perang itu sebagai “Perang Bonjol” tanpa menyebut “Perang Padri” atau ada yang menyebut “Perang Imam Bojol” sebagaimana ada “Perang Diponegoro” di Jawa. Secara pribadi saya lebih suka penyebutan “Perang Bonjol”, sama seperti perang Aceh, Perang Banjar, dan lainnya, demikian pernyataan dari salah seorang tetua sejarawan lokal Rao-rao yang sering dipanggil Paktuo Kampusurau.
Menarik memang untuk mengangkat kembali sejarah perang di minangkabau ini untuk di teliti kembali dan menjadikannya sebagai ber-labeling sejarah yang didasari oleh cara Local Wisdom atau Kearifan Lokal. Karna selama ini memang sejarah di Nusantara ini banyak di tulis dan diawali oleh penulis-penulis sejarah kolonialis yang jelas mempunyai tujuan demi kepentingan mereka.
Baca Juga : Surau, Lembaga Pendidikan Dini yang Unik dan Khas Minangkabau
Berdasarkan data yang ada bahwa sejarah Perang Candu di Minangkabau ini diawali oleh tulisan-tulisan Profesor Pieter Johannes Veth atau lebih dikenal sebagai Prof Veth, seorang profesor geografi dan etnologi Belanda yang juga merupakan ketua utama dari Perkumpulan Geografi Kerajaan Belanda (KNAG) dan beliau juga menjadi editor dari De Gids dan editor dari Tijdschrift voor Nederlandsch Indië, yang sering mempublis tulisan-tulisannya.
Beliaulah yang melabelkan Perang Candu tersebut sebagai Perang Padri yang akhirnya banyak menjadi rujukan oleh sejarawan lokal sebagai sumber tulisan mereka. Sayangnya rujukan yang keliru ini juga menjadi sumber pembelajaran dalam pembuatan standar sejarah nasional. Selain terdapat pengistilahan yang keliru, jalan cerita yang dikarang Prof. Veth ini juga dianggap tidak cocok dengan kenyataannya. Apalagi memang beliau ini memang tidak pernah berkunjung ke Minangkabau dan hanya menggunakan sumber-sumber yang ada saja, termasuk serdadu dan pejabat kolonialis Belanda.
Padri itu sendiri adalah julukan Prof Veth untuk kaum Islam di Minangkabau. Istilah ini sangat bertentangan dan keliru dari faktanya, karena kata “Padri” itu sendiri adalah berasal dari kata “Padre” dalam bahasa bangsa kolonialis Spanyol yang berarti “Pendeta”. Padahal tokoh-tokoh Islam di Minangkabau itu tentulah bukanlah seorang pendeta. Jalan cerita yang dikarang Prof. Veth ini juga lebih menjurus untuk kepentingan penjajahan kolianis disamping kepentingan pribadi sebagai seorang akademisi dan penulis.
Versi lokal tidak menyebut perang itu sebagai Perang Padri, tapi adalah "Perang Candu", Karena memang peperangan itu dipicu oleh maraknya peredaran candu.
Sekitar tahun 2016 lalu, kembali untuk meluruskan sejarah, seorang peneliti dan akademisi bernama Dr Emeraldy Chatra, seorang pengajar di Jurusan Komunikasi FISIP Universitas Andalas, Sumatra Barat, telah mengangkat hasil penelitiannya dalam sebuah artikel yang bertajuk “Perang Padri Versi Lokal, Sejatinya Perang Candu”, dan dipublis di berbagai media. Memang belum banyak yang meneliti Perang Candu ini, tetapi hasil penelitian dosen FISIP Universitas Andalas ini dapatlah menjadi suatu oase baru dan pembanding untuk mengkoreksi labeling Perang Padri tersebut saat ini.
Versi lokal tidak menyebut perang itu sebagai Perang Padri, tapi adalah "Perang Candu", Karena memang peperangan itu dipicu oleh maraknya peredaran candu (bahan memabukkan yang dihisap bersama tembakau memakai cangklong panjang) di Minangkabau. Tidak hanya candu yang marak, seiring dengan peredaran candu itu, mereka yang pengkonsumsi candu ini juga melakuakan judi "sirambuang" , minum tuak, dan mengadu ayam. Termasuk juga perzinahanpun menjadi hal biasa.
Baca Juga: Bengkulu Tempo Dulu: Kejayaan dan Hubungan dengan Kerajaan Besar
Demikian rusaknya masyarakat Minangkabau saat itu akibat maksiat yang tidak sesuai dengan falsafah minang adat basandi syara dan syara basandi kitabullah ini, sehingga seorang tokoh Islam dan ulama muda Minangkabau saat itu, Tuanku Nan Renceh (TNR), dari surau Naqsabandiyah di Kamang sangat galau dan menjadi marah. Beliau memimpin sebuah kelompok kecil masyarakat yang terlatih untuk memerangi peredaran candu dan maksiat-maksiat ikutannya di seputar wilayah Kamang. Inisiatif ini adalah murni dari inisiatif TNR sendiri, karena gurunya, Tuanku Nan Tuo di Canduang tidak sepakat melakukan tindakan kekerasan sebagaimana dilakukan muridnya ini.
Peredaran candu dan berbagai praktik maksiat di Minangkabau saat itu memang sengaja dibiarkan dan bahkan Candu nya sendiri diimpor oleh Belanda dari India dan didistribusikan oleh tiga orang tokoh adat yang berdomisili di Tanah Datar. Dalam istilah sekarang, merekalah bandar besar narkotika dan dipelihara oleh Kolonialis Belanda. Soal nama ketiga orang ini tidak diungkap oleh Penulisnya tersebut karena memang dibutuhkan penelitian lebih lanjut dan yang utama adalah untuk menjaga kodusifitas masyarakat saat ini.
Kaki tangan ketiga tokoh adat itu bertebaran di seluruh wilayah Minangkabau. Memang kenyataannya banyak penghulu adat yang tidak setuju dengan kondisi itu juga dan tidak terlibat dalam urusan candu ini, bahkan banyak juga yang melawan, tapi tidak berhasil karena gerombolan pengedar candu sangat kuat. Pembakaran pasar Pandai Sikek oleh Haji Miskin yang dipicu oleh candu-judi-tuak melibatkan seorang penghulu terkenal dari Tanah Datar.
Gerakan TNR lebih tepat disebut sebagai “Gerakan Surau”. Boleh jadi TNR terinspirasi oleh gerakan Wahabi, tapi mereka bukan Wahabi yang terpublis saat ini, karena sejatinya kaum Naqsabandi tidak menyukai jalan kekerasan, dan tidak ada bukti bahwa beliau benar-benar Wahabi. Istilah Wahabi yang dilekatkan kepada Perang Padri juga berasal dari pendapat Prof. Veth ini.
Menurut versi lokal, tidak benar gerakan awalnya surau memerangi candu ini diinisiasi oleh Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin (nama lain dari Haji Pamansiangan). Sewaktu mereka pulang ke Minangkabau mereka sudah menemukan banyak kerusuhan yang disebabkan oleh gerakan surau-nya TNR. Kemudian mereka bergabung dengan TNR, membuat gerakan surau menjadi masif. Akibat terdesak oleh gerakan surau TNR, ketiga gembong candu memobilisasi kekuatan dan meminta pertolongan kepada Belanda. Belanda pun ikut campur urusan orang Minangkabau, melahirkan perang besar.
Perang inilah yang dikatakan secara keliru oleh Prof Veth sebagai perang Kaum Wahhabi melawan Kaum Adat. Tapi kita maklum, Kolonialis Belanda memang sering menulis dengan tujuan mereka dan tentu saja untuk mengadu domba dan membersihkan nama meraka saat ini. Campur tangan Belanda tidak menyurutkan semangat Kaum Surau. Perang makin sengit karena para penghulu adat yang anti candu bergabung dengan Kaum Surau.
Bergabungnya penghulu adat inilah yang kemudian melahirkan perang orang Minangkabau melawan Kolonialis Belanda. Tuanku Imam Bonjol adalah murid TNR yang paling terkenal, paling kuat, tapi juga yang mengakhiri perlawanan terhadap Belanda setelah beliau ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Ambon, lalu ke Lotar, Sulawesi.
Rekonstruksi atau juga peng-koreksian sejarah memang sangat diperlukan saat ini untuk meluruskan sejarah yang terbengkokkan dan terkaburkan, sebagaimana sebelumnya sering di ungkap oleh almarhum Babe Ridwan Saidi, seorang tokoh nasional dibidang Politik, Sejarah dan Budaya, diberbagai tulisan dan talkshow beliau di berbagai media.
Banyak sekali sejarah nasional ini yang masih terkaburkan dan tenggelam. Butuh peneliti sejarah dan budayawan serta pemangku jabatan pemerintahan yang berani untuk mengungkapkan dan mengkoreksi sejarah yang sudah terlanjur menjadi standar sejarah nasional saat ini.***
Penulis: Oleh : HG Sutan Adil
Penulis adalah Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute