Surau, Lembaga Pendidikan Dini yang Unik dan Khas Minangkabau
KOPICURUP.ID - Surau adalah sebuah bangunan tempat ibadah keagamaan Islam yang berasal dari Minangkabau dan banyak tersebar dibeberapa daerah di Sumatera dan Asia Tenggara yang umunya banyak dihuni diaspora dari Minangkabau. Sebutan Surau berasal dari wilayah Sumatera Tengah yang dahulunya merupakan asal muasal masyarakat yang berdubaya Minangkabau.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata Surau adalah tempat (rumah) umat Islam melakukan ibadatnya (mengerjakan shalat, mengaji, dan sebagainya). Kata Surau ini sendiri sudah ada di Nusantara sebelum masuknya islam di Nusantara. Literasi kata Surau berawal dari Kata Suaro atau Suara yang kemudian menjadi kata Surau.
Di daerah Aliyantan, yang kini masuk dalam wilayah Rokan Hulu/Riau dan dahulunya juga masih termasuk Alam Minangkabau ada sebutan Suro Batu, bentuk atau susunan batu yang pada masa pra Islam digunakan sebagai tempat Kontemplasi atau tempat untuk Bersamadi/Tapo/Upasena dan dahulunya juga sering disebut dengan sebutan Biaro. Suro Batu ini juga berarti adanya suara yang keluar dari tumpukan batu yang sering terdengar suara dengungan oleh para Brahmana atau Rsi ajaran leluhur pra Islam yang sedang melakukan kontemplasi spiritual dengan dengungan “Oohm… Auumm”.
Sebutan Surau secara kontemporer juga sering disama-artikan dengan istilah Langgar atau Mushola. Meskipun secara substantif term, hal tersebut tidak sepenuhnya bisa disamakan begitu saja. Karena dari segi kelahiran, Surau muncul jauh sebelum langgar atau mushalla berdiri, dan istilah Surau itu merupakan warisan dari ajaran leluhur sebagaimana disebutkan di atas.
Baca Juga: Perang Candu kok Diganti Jadi Perang Padri?
Penggunaan istilah langgar biasanya digunakan sebagai tempat shalat dan mengaji bagi kaum muslim di Jawa, yang berasal dari kata Melanggar, yaitu tempat orang yang melaksakan kegiatan yang melanggar dari adat istiadat leluhur di sana atau yang orang-orangnya memilih memeluk Islam dan meninggalkan agama serta adat lokal.
Sedangkan Mushola adalah ruang selain masjid, terutama digunakan untuk ibadah shalat yang biasanya diterjemahkan sebagai ruang shalat yang lebih kecil dari masjid dan biasanya digunakan untuk melaksanakan shalat lima waktu atau shalat lainnya yang jumlah jemaahnya sedikit, namun tidak untuk shalat berjamaah seperti shalat Jumat atau shalat Id.
Surau sendiri struktur fisik umumnya lebih kecil dari masjid dan memungkinkan dapat menampung jemaah pria dan wanita, dan lebih banyak digunakan untuk pengajaran agama Islam dan tradisi suluk. Surau didirikan dengan pendanaan dari masyarakat, sistemnya mirip dengan Zawiya atau Madrasah di Timur Tengah.
Di Minangkabau, Surau tidak hanya mempunyai fungsi tempat pendidikan dan ibadah ajaran Islam, membaca Al-Qur’an dan tempat shalat 5 waktu berjamaah, tetapi juga berfungsi sebagai pendidikan adat budaya. Surau dalam sistem adat budaya masyarakat adalah kepunyaan kaum dan suku untuk bermusyawarah dan tempat tidur anak kemenakan laki-laki. Manakala menjadi tempat sholat di awal perkembangan Islam, Surau telah berfungsi menjadi masjid kecil.
Dalam rentang waktu perkembangan selanjutnya, antara Surau dan Masjid dibangun dua tempat yang berbeda. Masjid dijadikan sebagai tempat yang hanya untuk peribadatan belaka, seperti sholat lima waktu, sholat Jum’at dan sholat dua hari raya. Di sisi lain, Surau berfungsi sebagai tempat asrama bagi pemuda dan tempat belajar membaca Al-Qur’an dan pengetahuan agama lainnya, termasuk juga untuk perkara ritual keagamaan suluk, dan tempat orang berkumpul untuk berbagai pertemuan dan musyawarah.
Baca Juga: Tradisi Siri', Carok, Dayyuts: Perempuan dan Pembunuhan (Catatan atas Kasus Pengantin Perempuan yang Diduga Dilarikan Mantan Kades di Bengkulu Utara)
Dipandang dari budaya, keberadaan Surau juga sebagai perwujudan dari budaya Minangkabau yang matriarkat. Anak laki-laki yang sudah akil baligh, tidak lagi layak tinggal di rumah orang tuanya, sebab saudara-saudara perempuannya akan kawin di rumah itu dan akan tinggal dengan lelaki lain dan menjadi suami dari saudara perempuannya, termasuk juga laki-laki yang sudah menduda dan bercerai.
Sistem pendidikan di Surau banyak kemiripannya dengan sistem pendidikan di Pesantren.
Surau berfungsi sebagai lembaga sosial budaya, adalah fungsinya sebagai tempat pertemanan para pemuda dalam upaya memsosialisasikan diri mereka. Selain dari itu Surau juga berfungsi sebagai tempat persinggahan dan peristirahatan bagi para musafir yang sedang menempuh perjalanan. Jadi dengan demikian Surau itu menjadi multifungsi.
Sistem pendidikan di Surau banyak kemiripannya dengan sistem pendidikan di Pesantren. Murid tidak terikat dengan sistem administrasi yang ketat, syekh atau guru mengajar dengan metode bandongan dan sorongan, ada juga murid yang berpindah ke surau lain apabila dia sudah merasa cukup memperoleh ilmu di Surau terdahulu.
Surau sebagaimana layaknya pesantren, juga memiliki kekhususan tersendiri. Ada Surau yang kekhususan dalam ilmu alat, ilmu mantik, ma’ani, ilmu tafir, dan faraid, dan ilmu nahu. Surau juga jamak dipakai sebagai tempat praktik sufi atau tarekat. Contohnya, Surau yang dibangun di Minangkabau oleh Burhanuddin Ulakan adalah untuk mempraktikkan ajaran tarekat di kalangan masyarakat Minangkabau, khususnya pengikut Syekh Burhanuddin Ulakan.
Dengan demikian Surau yang merupakan tempat pendidikan dini di Minangkabau, juga adalah sebagai mana meunasah di Aceh yang merupakan lembaga pendidikan yang juga berfungsi sebagai wadah sosial bagi masyarakat dan menjadi ciri khas bentuk Lembaga Pendidikan Dini di Minangkabau yang saat ini sudah tersebar di Sumatera dan Asia Tenggara.***
Penulis: HG Sutan Adil
Penulis adalah Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute